Rabu, 30 Juli 2014

" Janganlah Seorang Berilmu seperti Himar "


Ilmu itu dicap tak berguna, kalau akhlak pemiliknya tak seindah gelar akademik yang disandang. Pengetahuan akan menjadi bumerang sekiranya hatinya kian gelisah ketika ibadah



Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal

SUATU kali aku pernah mengunjungi Perpustakaan Kongres, di kota Washington, Amerika. Di sana aku menjumpai tumpukan buku hingga berbilang ratusan ribu jumlahnya. Semuanya tersedia. Dari berbagai disiplin dan spesialisasi ilmu. Segalanya ada, hingga ke literatur-literatur dan manuskrip-manuskrip kuno dari setiap generasi dan lapisan masyarakat.
Ia juga menampung buku-buku yang terkait dengan seluruh agama, kebudayaan dan peradaban manusia.
Tapi apa hasilnya?
Rupanya bangsa Amerika yang seringkali berbangga dengan sebutan Perpustakaan Terbesar di dunia itu tetaplah sebagai bangsa yang kafir kepada Allah. Demikian dikisahkan Syeikh Aidh al-Qarni dalam karya monumentalnya La Tahzan (Jangan Bersedih). Kisah ini ia sebutkan dalam Bab “Ilmu Bermanfaat dan Ilmu yang Mudharat”.
Ilmu bagi orang beriman adalah sebatas alat atau wasilah (sarana). Ilmu bukan tujuan akhir yang membuat seorang Muslim lalu puas dan merasa aman setelah meraihnya. Ibarat sebilah pisau tajam. Pisau itu bermanfaat baik ketika dipakai untuk menyembelih hewan qurban.
Sebaliknya, ia berubah buruk, jika digunakan untuk sebuah perbuatan dosa dan kemaksiatan.
Sejatinya, tak ada yang keliru ketika seseorang berlomba-lomba menuntut ilmu setinggi-tingginya. Hal itu bahkan menjadi perintah mendasar dalam syariat Islam.
Amalan itu bisa benar jika ada ilmu yang menyertainya. Kira-kira seperti itu maksud Muhammad bin Ismail bin al-Mughirah alias Imam al-Bukhari, ketika merumuskan klasifikasi penyusunan hadits-haditsnya. Salah satunya ialah bab “al-Ilmu Qabla al-Qaul wa al-Amal”(Ilmu sebelum perkataan dan perbuatan).
Al-Qur’an juga memberi isyarat demikian. Adalah perintah (iqra) yaitu “membaca” menjadi landasan wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.
Selanjutnya Allah berfirman;
يَا أَيّ  يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“… Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Surah al-Mujadalah [58]: 11).
Ilmu itu disanjung ketika selaras dengan akhlak dan laku pemiliknya. Ilmu itu mulia ketika berhasil medekatkan dirinya kepada Sang Pencipta alam semesta. Allah bahkan tak segan mengangkat derajat kemuliaan orang tersebut jika ia berhasil mengawinkan antara iman, ilmu, dan amal shalih tersebut. Ia layak bergelar alim atau ulama, andai ketinggian ilmunya sukses menjadikan ia kian rendah dan merasa takut di hadapan Zat Yang Mahatinggi.
Lalu di mana celah keburukan ilmu itu? Inilah soalannya. Jika pengetahuan yang sedikit itu justru membuatnya melambung dan berlaku sombong kepada sesama. Memandang rendah orang lain atau menolak kebenaran jika hal itu tak sesuai dengan “selera” dan keinginannya.
Ilmu itu berbalik makna, jika ia mengaku banyak ilmu tapi rupanya beramal shaleh sedikit saja.
Ilmu itu dicap tak berguna, kalau akhlak pemiliknya tak seindah gelar akademik yang disandang di belakang namanya.
Pengetahuan malah menjadi bumerang sekiranya hatinya kian gelisah ketika ibadah. Fikirannya makin menyimpang dan perbuatannya makin jauh dari tuntunan agama itu sendiri.
Layaknya seekor himar (keledai), binatang itu sibuk mondar-mandir dengan tumpukan kitab di atas punggungnya. Tapi semua itu tak bernilai sedikitpun. Kecuali semata-mata menanggung beban yang kian berat. Ia pandai dan berilmu tapi ia tak mendapat manfaat kecuali ancaman siksa di hari Kiamat kelak.
Seperti itu Allah mengisyaratkan;
مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَاراً بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (Surah al-Jumuah [62]: 5).
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik, dan amal yang diterima.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar