Minggu, 03 Agustus 2014

" KIPRAH MENGENDALIKAN HAWA NAFSU "

Insan atau yang namanya Manusia adalah makhluq ciptaan Alloh swt yang paling istimewa. Hanya manusialah yang dipercaya Alloh untuk memegang amanat sebagai khalifah di atas bumi. Bukan gunung, bukan malaikat, bukan jin, bukan langit, bukan pula lautan. Padahal dibandingkan mereka semua, manusia adalah makhluk yang paling lemah dan tidak berdaya. Jika semua makhluk itu diberikan kekuatan fisik dan energi yang luar biasa, manusia hanya diberikan oleh Alloh swt modal akal dan hawa nafsu.
Akal dan hawa nafsu bukanlah barang jadi siap pakai bagi manusia, sebagaimana kekuatan bagi malaikat, jin dan alam. Akan tetapi akal dan hawa nafsu adalah barang mentah yang perlu dimasak kembali supaya tercipta keseimbangan antara keduanya. Jika ini terjadi  maka kehidupan manusia akan menjadi lebih bermakna dan bermanfaat. Jika terjadi dominasi satu dari keduanya, maka yang terjadi adalah kekacauan. Manusia harus selalu mampu mengimbangi tuntutan hawa nafsu dengan akalnya, agar hawa nafsu itu terkendali. Dan membubuhi akal dengan hawa nafsunya. Karena sesungguhnya dosis hawa nafsu yang sesuai itulah yang melahirkan berbagai karya dan kreatifitas.
Hawa nafsu adalah dorongan dan keinginan untuk menguasai, untuk menjadikan sesuatu. Sedangkan akal bertugas mencarikan jalan dan cara bagaimana keinginan itu terwujud. Oleh karena itu Al-Qur’an mengibaratkan hawa nafsu sebagai tazyin asesoris atau perhiasan bagi manusia dan kehidupannya. Selayaknya perhiasan tidak selamanya baik jika terlalu banyak. Justru, seringkali perhiasan yang minimalis menambah anggun pemakainya. 
Oleh karena itu Al-Qur’an dengan mengingatkan manusia agar tidak mengikuti hawa nafsunya:
وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
 "Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Alloh. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Alloh akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan " (QS. Shad: 26)
meski demikian, betapa banyaknya sisi kehidupan ini yang dikuasai oleh hawa nafsu. Tindak kekerasan, kasus kejahatan dan pelanggaran norma asusila mulai dari korupsi, kolusi, nepotisme, hingga pemerkosaan dan jual-beli manusia. Semua membuktikan betapa hawa nafsu terlalu mendominasi dalam kehidupan mengalahkan fungsi akal. Sekaligus menunjukkan bahwa manusia telah kalah dalam perjuangannya melawan hawa nafsu.
Begitu beratnya melawan hawa nafsu hingga Rosululloh SAW menjulukinya sebagai jihad akbar. Sebuah hadits menerangkan;
رَجَعْتُمْ مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ فَقِيْلَ وَمَاجِهَادُ الْأَكْبَرِ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ جِهَادُ النَّفْسِ
Kalian semua pulang dari sebuah pertempuran kecil menuju pertempuran besar. Lalu ditanyakan kepada Rosululloh SAW. Apakah pertempuran besar wahai Rosululloh? Rosul menjawab “jihad (memerangi) hawa nafsu.
Memang jihad akbar bukan sembarang jihad. Jihad akbar ibarat peperangan bukanlah melawan musuh yang bisa diperdaya dengan siasat dan senjata. Yang kekuatannya dapat dipetakan dan dikalkulasikan untuk selanjutnya dicari kelemahannya. Jihad akbar adalah peperangan melawan musuh yang tak terlihat, musuh dalam selimut yang siap menikam dari belakang kapanpun kita lengah. Sebagaimana diri kita sering terbujuk untuk melakukan maksiat dan mengumpulkan dosa-dosa kecil.  Bagaimana diri kita masih seringkali merenyahkan pergaulan dengan bumbu-bumbu dusta. Atau diri kita terpeleset akibat pelet dunia dan gendam kemewahannya.
فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا ُ
maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu,
Bahkan lebih dari itu, jihad akbar melawan hawa nafsu adakalanya tidak sekedar melawan musuh dalam selimut, tetapi melawan musuh dalam diri sendiri. Jikalau musuh dalam selimut mengandaikan adanya musuh, seperti yang tadi dicontohkan. Tetapi musuh dalam diri sendiri jauh memiliki level lebih tinggi. Hawa nafsu bermain dalam hati memompa perasaan ‘ujub paling berjasa. Terkadang juga riya’ berpura-pura khusyu’ tetapi ada maunya. Atau lebih dari itu, sudah merasa menjadi hamba Alloh yang paling ikhlas dan suci yang belum tentu orang lain bisa melakukannya.
Atau Ketika seseorang yang berjihad merasa dirinya telah berjasa besar kepada Islam dan merasa dirinyalah yang berhak mendapatkan surga lengkap dengan bidadarinya. Dan terus meniupkan hal ini dalam hati, sehingga merasa dirinya paling bernilai dan paling dekat dengan Alloh. Itu berarti dia belum memenangkan musuh dalam diri sendiri. Walaupun musuhnya dalam dunia nyata telah mati terkena bom yang diledakannya. Musuh diri sendiri adalah hawa nafsu yang membujuk hati dalam beribadah kepada Allah.
وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُوْرَ
Dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Alloh.
Betapa hawa nafsu bermain dalam semua tingkat kehidupan. Bahkan dalam ruang ubudiyyah yang palig intens yang sangat individualis sekali, antara seorang hamba dengan Allohpun hawa nafsu masih memiliki kelihaian. “Luar biasa”.
Oleh karena itulah dalam daftar bermacam manusia yang terbujuk nafsu, Imam GHazali dalam salah satu keterangannya memposisikan para ‘abid sebagai ragam terbanyak kelompok yang terbujuk. Karena dalam tingkatan mereka hawa nafsu bukanlah sekedar musuh dalam selimut, tapi musuh dalam diri sendiri
Oleh karena itu, mumpung masih ada waktu marilah kita belajar sedikit demi sedikit mengalahkan musuh-musuh kita. walaupun usaha itu nampaknya kurang berhasil, tetapi kita sudah menunjukkan kemauan kita melatih diri dan hati. Dengan demikian Insya Alloh dunia ini akan terasa indah. Bukankah selama ini kerusakan dunia akibat senangnya manusia kepada hawa nafsu, senang dipuji, senang disanjung dan senang kepada harta? Sebagaimana sabda Rosululloh SAW :
إنما هلك أمتى باتباع الهوى وحب الثناء و حب الدنيا
Bahwasannya kehancuran umatku karena menuruti hawa nafsu, senang dipuji dan cinta dunia
Akhirnya akan kami tutup dengan potongan Qoshidah Burdah Imam Bushiri yang mewanti-wanti manusia agar tidak kalap dan terjerumus dalam jebakan hawa nafsu yang terkadang menjelma seolah nasihat yang bermakna.
وخالف النفس والشيطان واعصهما * وإن هما محضاك النصح فاتهم

Janganlah kau mengikuti nafsu dan syaitan serta kemaksiatan yang ditawarkannya. Dan tetap waspadalah sekalipun keduanya membisikkan nasihat yang terkesan baik.

Sabtu, 02 Agustus 2014

NIKMAT IMAN DAN ISLAM

Mungkin pernah terbetik di dalam benak kita, kenapa kita yang seorang muslim hidupnya jauh lebih sengsara, ketimbang mereka yang hidup di dalam kekafiran. Padahal seorang muslim hidup di atas keta’atan menyembah Allah ta’ala, sedangkan orang kafir hidup di atas kekufuran kepada Allah. Berikut ini adalah riwayat mengenai Sahabat Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu.
Kisah berikut termuat dalam kitab Tafsir Surat Yasin karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah.  Suatu hari ‘Umar mendatangi rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau sedang tidur di atas dipan yang terbuat dari serat, sehingga terbentuklah bekas dipan tersebut di lambung beliau.
Tatkala ‘Umar melihat hal itu, maka ia pun menangis. Nabi yang melihat ‘Umar menangis kemudian bertanya, “Apa yang engkau tangisi wahai ‘Umar?” ‘Umar menjawab, “Sesungguhnya bangsa Persia dan Roma diberikan nikmat dengan nikmat dunia yang sangat banyak, sedangkan engkau dalam keadaan seperti ini?”
Nabi pun mengatakan, “Wahai ‘Umar, sesungguhnya mereka adalah kaum yang Allah segerakan kenikmatan di kehidupan dunia mereka.”
Di dalam hadits ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir disegerakan nikmatnya oleh Allah di dunia, dan boleh jadi itu adalah istidraj dari Allah. Namun apabila mereka mati kelak, sungguh adzab yang Allah berikan sangatlah pedih. Dan adzab itu semakin bertambah tatkala mereka terus berada di dalam kedurhakaan kepada Allah ta’ala. Maka sungguh Allah telah memberikan kenikmatan yang banyak kepada kita, dan kita lupa akan hal itu, kenikmatan itu adalah kenikmatan Islam dan Iman.
Sungguh kenikmatan di dunia, tidaklah bernilai secuil pun dibanding kenikmatan di akhirat.
Mari kita bandingkan antara dunia dan akhirat, dengan membaca sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Demi Allah! Tidaklah dunia itu dibandingkan dengan akhirat, kecuali seperti salah seorang dari kalian yang mencelupkan jarinya ke lautan. Maka perhatikanlah jari tersebut kembali membawa apa?” (HR. Muslim)
Lihatlah, dunia itu jika dibandingkan dengan akhirat hanya Nabi misalkan dengan seseorang yang mencelupkan jarinya ke lautan, kemudian ia menarik jarinya. Perhatikanlah, apa yang ia dapatkan dari celupan tersebut. Jari yang begitu kecil dibandingkan dengan lautan yang begitu luas, mungkin  hanya beberapa tetes saja. Hadits di atas juga menunjukkan bahwa perhatiannya ‘Umar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak tega, hingga menangis melihat kondisi Nabi yang terlihat susah, sedangkan orang-orang kafir hidup di dalam kenikmatan dunia.
Sebagai penutup tulisan ini, akan saya petikkan kisah seorang hakim dari Mesir, beliau adalah Al-Hafizh Ibnu Hajr. Suatu hari Ibnu Hajr melewati seorang Yahudi yang menjual minyak zaitun, yang berpakaian kotor, dan Ibnu Hajr sedang menaiki kereta yang ditarik oleh kuda-kuda, yang dikawal oleh para penjaga di sisi kanan dan kiri kereta. Kemudian Yahudi tersebut menghentikan kereta beliau dan berkata, “Sesungguhnya Nabi kalian telah bersabda, ‘Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan Surga bagi orang kafir. Engkau adalah Hakim Agung Mesir. Engkau dengan rombongan pengawal seperti ini, penuh dengan kenikmatan, sementara aku di dalam penderitaan dan kesengsaraan.”

Ibnu Hajr rahimahullah menjawab, “Aku dengan nikmat dan kemewahan yang aku rasakan ini dibandingkan dengan kenikmatan di Surga adalah penjara. Ada pun engkau dengan kesengsaraan yang engkau rasakan, dibandingkan dengan adzab yang akan engkau rasakan di Neraka dalah Surga. Orang Yahudi itu lalu berkata, “Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah.” Masuk Islam lah orang Yahudi tersebut.