Ilmu itu dicap tak
berguna, kalau akhlak pemiliknya tak seindah gelar akademik yang disandang.
Pengetahuan akan menjadi bumerang sekiranya hatinya kian gelisah ketika ibadah
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan
kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang
membawa kitab-kitab yang tebal
SUATU kali aku pernah mengunjungi Perpustakaan
Kongres, di kota Washington, Amerika. Di sana aku menjumpai tumpukan buku
hingga berbilang ratusan ribu jumlahnya. Semuanya tersedia. Dari berbagai
disiplin dan spesialisasi ilmu. Segalanya ada, hingga ke literatur-literatur
dan manuskrip-manuskrip kuno dari setiap generasi dan lapisan masyarakat.
Ia juga menampung buku-buku yang terkait
dengan seluruh agama, kebudayaan dan peradaban manusia.
Tapi apa hasilnya?
Tapi apa hasilnya?
Rupanya bangsa Amerika yang seringkali
berbangga dengan sebutan Perpustakaan Terbesar di dunia itu tetaplah sebagai
bangsa yang kafir kepada Allah. Demikian dikisahkan Syeikh Aidh al-Qarni dalam
karya monumentalnya La Tahzan (Jangan Bersedih). Kisah ini ia sebutkan dalam Bab “Ilmu
Bermanfaat dan Ilmu yang Mudharat”.
Ilmu bagi orang beriman adalah sebatas alat
atau wasilah (sarana). Ilmu bukan tujuan akhir yang membuat seorang Muslim lalu
puas dan merasa aman setelah meraihnya. Ibarat sebilah pisau tajam. Pisau itu
bermanfaat baik ketika dipakai untuk menyembelih hewan qurban.
Sebaliknya, ia berubah buruk, jika digunakan
untuk sebuah perbuatan dosa dan kemaksiatan.
Sejatinya, tak ada yang keliru ketika
seseorang berlomba-lomba menuntut ilmu setinggi-tingginya. Hal itu bahkan
menjadi perintah mendasar dalam syariat Islam.
Amalan itu bisa benar jika ada ilmu yang
menyertainya. Kira-kira seperti itu maksud Muhammad bin Ismail bin al-Mughirah
alias Imam al-Bukhari, ketika merumuskan klasifikasi penyusunan
hadits-haditsnya. Salah satunya ialah bab “al-Ilmu Qabla al-Qaul wa al-Amal”(Ilmu sebelum perkataan dan perbuatan).
Al-Qur’an juga memberi isyarat demikian.
Adalah perintah (iqra) yaitu “membaca” menjadi landasan wahyu pertama yang
turun kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.
Selanjutnya Allah berfirman;
يَا أَيّ
يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ
الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“… Niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (Surah al-Mujadalah
[58]: 11).
Ilmu itu disanjung ketika selaras dengan
akhlak dan laku pemiliknya. Ilmu itu mulia ketika berhasil medekatkan dirinya
kepada Sang Pencipta alam semesta. Allah bahkan tak segan mengangkat derajat
kemuliaan orang tersebut jika ia berhasil mengawinkan antara iman, ilmu, dan
amal shalih tersebut. Ia layak bergelar alim atau ulama, andai ketinggian
ilmunya sukses menjadikan ia kian rendah dan merasa takut di hadapan Zat Yang
Mahatinggi.
Lalu di mana celah keburukan ilmu itu? Inilah
soalannya. Jika pengetahuan yang sedikit itu justru membuatnya melambung dan
berlaku sombong kepada sesama. Memandang rendah orang lain atau menolak
kebenaran jika hal itu tak sesuai dengan “selera” dan keinginannya.
Ilmu itu berbalik makna, jika ia mengaku
banyak ilmu tapi rupanya beramal shaleh sedikit saja.
Ilmu itu dicap tak berguna, kalau akhlak
pemiliknya tak seindah gelar akademik yang disandang di belakang namanya.
Pengetahuan malah menjadi bumerang sekiranya
hatinya kian gelisah ketika ibadah. Fikirannya makin menyimpang dan
perbuatannya makin jauh dari tuntunan agama itu sendiri.
Layaknya seekor himar (keledai), binatang itu sibuk mondar-mandir
dengan tumpukan kitab di atas punggungnya. Tapi semua itu tak bernilai
sedikitpun. Kecuali semata-mata menanggung beban yang kian berat. Ia pandai dan
berilmu tapi ia tak mendapat manfaat kecuali ancaman siksa di hari Kiamat
kelak.
Seperti itu Allah mengisyaratkan;
مَثَلُ الَّذِينَ
حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ
أَسْفَاراً بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ
وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Perumpamaan
orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya
adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya
perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi
petunjuk kepada kaum yang zalim.” (Surah al-Jumuah [62]: 5).
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ
أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً
“Ya Allah,
sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik, dan
amal yang diterima.”