Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
Saat ini masih dalam koridor
bulan yang diagungkan oleh Alloh SWT dalam hitungan bulan islam/bulan hijriyyah/bulan
Qomariyyah yakni bulan Robi’ul awwal 1435 Hijriyyah. Dalam bulan ini diagungkan
olehNya dimana Alloh SWT memperlahirkan Nabi yang Agung nan Mulia,yakni Nabi
Muhammad SAW.
Maulid Nabi atau hari
kelahiran Nabi Muhammad SAW pada mulanya diperingati untuk membangkitkan
semangat umat Islam. Sebab waktu itu umat Islam sedang berjuang keras
mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa, yakni dari Prancis,
Jerman, dan Inggris. Kita mengenal musim itu sebagai Perang Salib atau The
Crusade. Pada tahun 1099 M tentara salib telah berhasil merebut Yerusalem
dan menyulap Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan
semangat perjuangan dan persaudaraan ukhuwah. Secara politis memang umat Islam
terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meskipun ada satu khalifah
tetap satu dari Dinasti Bani Abbas di kota Baghdad sana, namun hanya sebagai
lambang persatuan spiritual.
Adalah Sultan Salahuddin
Al-Ayyubi --orang Eropa menyebutnya Saladin, seorang pemimpin yang pandai
mengena hati rakyat jelata. Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau
570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub --katakanlah dia setingkat Gubernur.
Pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah
kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia. Kata
Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara
mempertebal kecintaan umat kepada Nabi mereka. Salahuddin mengimbau umat Islam
di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad SAW, 12 Rabiul Awal kalender
Hijriyah, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini harus
dirayakan secara massal.
Ketika Salahuddin meminta
persetujuan dari khalifah di Baghdad yakni An-Nashir, ternyata khalifah setuju.
Maka pada musim ibadah haji bulan Dzulhijjah 579 H (1183 Masehi), Salahuddin
sebagai penguasa haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah)
mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung
halaman masing-masing segera menyosialkan kepada masyarakat Islam di mana saja
berada, bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 M) tanggal 12 Rabiul-Awal dirayakan
sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat
umat Islam.
Salahuddin ditentang oleh para
ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi
pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan
Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid
Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang
bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang.
Salah satu kegiatan yang
diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali
tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi
beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama
dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang
menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji. Karyanya yang dikenal
sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di
kampung-kampung pada peringatan Maulid Nabi.
Barzanji bertutur tentang
kehidupan Muhammad, mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja,
pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat
mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan
teladan umat manusia. Nama Barzanji diambil dari nama pengarang naskah tersebut
yakni Syekh Ja'far al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim. Barzanji berasal dari
nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzinj. Karya tulis tersebut sebenarnya
berjudul 'Iqd Al-Jawahir (artinya kalung permata) yang disusun
untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Tapi kemudian lebih
terkenal dengan nama penulisnya.
Ternyata peringatan Maulid
Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif.
Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin
berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut
oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa menjadi masjid
kembali, sampai hari ini.
***
Dalam sejarah penyebaran Islam
di Nusantara, perayaan Maulid Nabi atau Muludan dimanfaatkan oleh Wali Songo
untuk sarana dakwah dengan berbagai kegiatan yang menarik masyarakat agar
mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat) sebagai pertanda memeluk Islam.
Itulah sebabnya perayaan Maulid Nabi disebut Perayaan Syahadatain, yang oleh
lidah Jawa diucapkan Sekaten.
Dua kalimat syahadat itu
dilambangkan dengan dua buah gamelan ciptaan Sunan Kalijaga bernama Gamelan
Kiai Nogowilogo dan Kiai Gunturmadu, yang ditabuh di halaman Masjid Demak pada
waktu perayaan Maulid Nabi. Sebelum menabuh dua gamelan tersebut, orang-orang
yang baru masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat terlebih dulu
memasuki pintu gerbang "pengampunan" yang disebut gapura (dari bahasa
Arab ghafura, artinya Dia mengampuni).
Pada zaman kesultanan Mataram,
perayaan Maulid Nabi disebut Gerebeg Mulud. Kata "gerebeg" artinya
mengikuti, yaitu mengikuti sultan dan para pembesar keluar dari keraton menuju
masjid untuk mengikuti perayaan Maulid Nabi, lengkap dengan sarana upacara,
seperti nasi gunungan dan sebagainya. Di samping Gerebeg Mulud, ada juga
perayaan Gerebeg Poso (menyambut Idul Fitri) dan Gerebeg Besar (menyambut Idul
Adha).
Kini peringatan Maulid Nabi
sangat lekat dengan kehidupan warga Nahdlatul Ulama (NU). Hari Senin tanggal 12
Rabi'ul Awal (Mulud), sudah dihapal luar kepala oleh anak-anak NU. Acara yang
disuguhkan dalam peringatan hari kelahiran Nabi ini amat variatif, dan kadang
diselenggarakan sampai hari-hari bulan berikutnya, bulan Rabius Tsany (Bakdo
Mulud). Ada yang hanya mengirimkan masakan-masakan spesial untuk dikirimkan ke
beberapa tetangga kanan dan kiri, ada yang menyelenggarakan upacara sederhana
di rumah masing-masing, ada yang agak besar seperti yang diselenggarakan di
mushala dan masjid-masjid, bahkan ada juga yang menyelenggarakan secara
besar-besaran, dihadiri puluhan ribu umat Islam.
Ada yang hanya membaca
Barzanji atau Diba' (kitab sejenis Barzanji). Bisa juga ditambah dengan
berbagai kegiatan keagamaan, seperti penampilan kesenian hadhrah, pengumuman
hasil berbagai lomba, dan lain-lain, dan puncaknya ialah mau’izhah
hasanah dari para muballigh kondang.
Para ulama NU memandang
peringatan Maulid Nabi ini sebagai bid’ah atau perbuatan yang
di zaman Nabi tidak ada, namun termasuk bid’ah hasanah (bid’ah
yang baik) yang diperbolehkan dalam Islam. Banyak memang amalan seorang muslim
yang pada zaman Nabi tidak ada namun sekarang dilakukan umat Islam, antara
lain: berzanjen, diba’an, yasinan, tahlilan (bacaan Tahlilnya, misalnya, tidak
bid’ah sebab Rasulullah sendiri sering membacanya), mau’izhah hasanah pada
acara temanten dan Muludan.
Dalam Madarirushu’ud
Syarhul Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW bersabda: "Siapa
menghormati hari lahirku, tentu aku berikan syafa'at kepadanya di Hari Kiamat."
Sahabat Umar bin Khattab secara bersemangat mengatakan: “Siapa yang menghormati
hari lahir Rasulullah sama artinya dengan menghidupkan Islam!”
Oleh :(A Khoirul Anam
--dari berbagai sumber).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar