Akal dan hawa
nafsu bukanlah barang jadi siap pakai bagi manusia, sebagaimana kekuatan
bagi malaikat, jin dan alam. Akan tetapi akal dan hawa nafsu adalah barang
mentah yang perlu dimasak kembali supaya tercipta keseimbangan antara keduanya.
Jika ini terjadi maka kehidupan manusia
akan menjadi lebih bermakna dan bermanfaat. Jika terjadi dominasi satu dari
keduanya, maka yang terjadi adalah kekacauan. Manusia harus selalu mampu
mengimbangi tuntutan hawa nafsu dengan akalnya, agar hawa nafsu itu terkendali.
Dan membubuhi akal dengan hawa nafsunya. Karena sesungguhnya dosis hawa nafsu
yang sesuai itulah yang melahirkan berbagai karya dan kreatifitas.
Hawa
nafsu adalah dorongan dan keinginan untuk menguasai, untuk menjadikan sesuatu.
Sedangkan akal bertugas mencarikan jalan dan cara bagaimana keinginan itu
terwujud. Oleh karena itu Al-Qur’an mengibaratkan hawa nafsu sebagai tazyin
asesoris atau perhiasan bagi manusia dan kehidupannya. Selayaknya perhiasan
tidak selamanya baik jika terlalu banyak. Justru, seringkali perhiasan yang
minimalis menambah anggun pemakainya.
Oleh
karena itu Al-Qur’an dengan mengingatkan manusia agar tidak mengikuti hawa
nafsunya:
وَلَا
تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن
سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
"Dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Alloh. Sesungguhnya
orang-orang yang sesat dari jalan Alloh akan mendapat azab yang berat, karena
mereka melupakan hari perhitungan "
(QS. Shad: 26)
meski
demikian, betapa banyaknya sisi kehidupan ini yang dikuasai oleh hawa nafsu.
Tindak kekerasan, kasus kejahatan dan pelanggaran norma asusila mulai dari
korupsi, kolusi, nepotisme, hingga pemerkosaan dan jual-beli manusia. Semua
membuktikan betapa hawa nafsu terlalu mendominasi dalam kehidupan
mengalahkan fungsi akal. Sekaligus menunjukkan bahwa manusia telah kalah dalam
perjuangannya melawan hawa nafsu.
Begitu
beratnya melawan hawa nafsu hingga Rosululloh SAW menjulukinya sebagai
jihad akbar. Sebuah hadits menerangkan;
رَجَعْتُمْ
مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ فَقِيْلَ وَمَاجِهَادُ الْأَكْبَرِ
يَارَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ جِهَادُ النَّفْسِ
Kalian semua pulang dari sebuah
pertempuran kecil menuju pertempuran besar. Lalu ditanyakan kepada Rosululloh
SAW. Apakah pertempuran besar wahai Rosululloh? Rosul menjawab “jihad
(memerangi) hawa nafsu.
Memang
jihad akbar bukan sembarang jihad. Jihad akbar ibarat peperangan bukanlah
melawan musuh yang bisa diperdaya dengan siasat dan senjata. Yang kekuatannya
dapat dipetakan dan dikalkulasikan untuk selanjutnya dicari kelemahannya. Jihad
akbar adalah peperangan melawan musuh yang tak terlihat, musuh dalam selimut
yang siap menikam dari belakang kapanpun kita lengah. Sebagaimana diri kita
sering terbujuk untuk melakukan maksiat dan mengumpulkan dosa-dosa kecil. Bagaimana diri kita masih seringkali
merenyahkan pergaulan dengan bumbu-bumbu dusta. Atau diri kita terpeleset akibat
pelet dunia dan gendam kemewahannya.
فَلَا
تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا ُ
maka
janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu,
Bahkan lebih dari itu, jihad akbar
melawan hawa nafsu adakalanya tidak sekedar melawan musuh dalam selimut, tetapi
melawan musuh dalam diri sendiri. Jikalau musuh dalam selimut mengandaikan
adanya musuh, seperti yang tadi dicontohkan. Tetapi musuh dalam diri sendiri
jauh memiliki level lebih tinggi. Hawa nafsu bermain dalam hati memompa
perasaan ‘ujub paling berjasa. Terkadang juga riya’ berpura-pura khusyu’ tetapi
ada maunya. Atau lebih dari itu, sudah merasa menjadi hamba Alloh yang paling
ikhlas dan suci yang belum tentu orang lain bisa melakukannya.
Atau Ketika seseorang yang berjihad
merasa dirinya telah berjasa besar kepada Islam dan merasa dirinyalah yang
berhak mendapatkan surga lengkap dengan bidadarinya. Dan terus meniupkan hal
ini dalam hati, sehingga merasa dirinya paling bernilai dan paling dekat dengan
Alloh. Itu berarti dia belum memenangkan musuh dalam diri sendiri. Walaupun musuhnya
dalam dunia nyata telah mati terkena bom yang diledakannya. Musuh diri sendiri
adalah hawa nafsu yang membujuk hati dalam beribadah kepada Allah.
وَلَا
يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُوْرَ
Dan jangan (pula) penipu (syaitan)
memperdayakan kamu dalam (mentaati) Alloh.
Betapa
hawa nafsu bermain dalam semua tingkat kehidupan. Bahkan dalam ruang ubudiyyah
yang palig intens yang sangat individualis sekali, antara seorang hamba dengan
Allohpun hawa nafsu masih memiliki kelihaian. “Luar biasa”.
Oleh
karena itulah dalam daftar bermacam manusia yang terbujuk nafsu, Imam GHazali
dalam salah satu keterangannya memposisikan para ‘abid sebagai ragam terbanyak
kelompok yang terbujuk. Karena dalam tingkatan mereka hawa nafsu bukanlah
sekedar musuh dalam selimut, tapi musuh dalam diri sendiri
Oleh
karena itu, mumpung masih ada waktu marilah kita belajar sedikit demi sedikit
mengalahkan musuh-musuh kita. walaupun usaha itu nampaknya kurang berhasil,
tetapi kita sudah menunjukkan kemauan kita melatih diri dan hati. Dengan
demikian Insya Alloh dunia ini akan terasa indah. Bukankah selama ini kerusakan
dunia akibat senangnya manusia kepada hawa nafsu, senang dipuji, senang
disanjung dan senang kepada harta? Sebagaimana sabda Rosululloh SAW :
إنما
هلك أمتى باتباع الهوى وحب الثناء و حب الدنيا
Bahwasannya kehancuran umatku karena
menuruti hawa nafsu, senang dipuji dan cinta dunia
Akhirnya
akan kami tutup dengan potongan Qoshidah Burdah Imam Bushiri yang mewanti-wanti
manusia agar tidak kalap dan terjerumus dalam jebakan hawa nafsu yang terkadang
menjelma seolah nasihat yang bermakna.
وخالف
النفس والشيطان واعصهما * وإن هما محضاك النصح فاتهم
Janganlah kau mengikuti nafsu dan
syaitan serta kemaksiatan yang ditawarkannya. Dan tetap waspadalah sekalipun
keduanya membisikkan nasihat yang terkesan baik.